Reaksi terhadap Keputusan reklamasi untuk dilanjutkan atau ditinjau kembali Oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Maritim Luhut B Panjaitan sangatlah menjadi Polemik di masyarakat beberapa unsur masyarakat sudah menyampaikan reaksi akan hal peninjauan kembali akan keputusan reklamasi tersebut.
Dimana konflik tataruang yang didalamnya terjadi konflik perundangan, teknis, sosial antara warga dan pemerintah, antar-lembaga pemerintahan, ekonomi, Politik juga berkembang dalam reklamasi Teluk Jakarta, saat ini kementerian Agraria dan Tata Ruang sedang mengkaji secara komprehensif dan tidak sepotong-sepotong yang mana ada perbedaan persepsi akan Perpres 54/2008 yang mencabut tataruangnya dengan zona P1, P2 tersebut bukan reklamasinya dan yang penting reklamasi dapat menjawab permasalahan yang ada seperti kebencanaan, land subsidence, kebutuhan air, permukiman, transfortasi dll menurut sumber dari ATR tersebut.

Akan tetapi menurut Muhammad Isnur, Kepala Bidang Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengatakan, keberadaan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta sudah dicabut saat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengeluarkan izin reklamasi di Pantai Utara Jakarta.
Pencabutan Keppres 52/1995 bahkan sudah berlangsung puluhan tahun, yakni dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Perpres 54/2008 ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 12 Agustus 2008.
Lalu diperkuat lagi dengan Perpres 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 5 Desember 2012.
Akan tetapi, Ahok tetap nekad melabrak aturan dengan menerbitkan izin reklamasi melalui Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2238 yang ditetapkan pada tanggal 23 Desember 2014. Izin dikeluarkan dua bulan setelah Ahok dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, menggantikan Joko Widodo yang dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia.
“Gubernur sering beralasan bahwa izin dikeluarkan dengan Keppres 1995, padahal itu jelas-jelas sudah dihapus oleh Perpres 54 Tahun 2008 dan Perpres 122 Tahun 2012. Ini yang orang-orang tidak tahu,” ujar Isnur di Jakarta kemarin.
Dia menyayangkan sikap Ahok yang terus-menerus menutupi pelanggaran yang dibuatnya. LBH Jakarta mencatat, Keppres 52/1995 dijadikan dasar oleh Gubernur DKI bagi terbitnya empat izin reklamasi. “Harusnya (Ahok) sadar bahwa itu berbahaya, ketika pemerintah melanggar dan tidak menghormati peraturan yang baru.”
Divisi Pengembangan Hukum dan Pembela Nelayan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Martin Hadiwinata menambahkan, pencabutan Keppres 52/2008 sangat jelas tertuang dalam Pasal 72 Perpres 54 Tahun 2008. Yakni mencabut empat Keputusan Presiden sebelumnya.
Masing-masing Keppres Nomor 114/1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur, Keppres Nomor 1/1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri, Keppres Nomor 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan terakhir Keppres 73/1995 tentang Reklamasi Pantai Kapuk Niaga Tangerang.

KNTI juga penerbitan izin reklamasi oleh Ahok melabrak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Empat izin pelaksanaan reklamasi oleh Ahok cenderung dipaksakan hingga melanggar berbagai peraturan-perundangan diatasnya. Untuk menutupi berbagai pelanggaran tersebut dipilih jalan pintas dengan mempercepat pembahasan dan pengesahan Raperda Zonasi.”SEKJEN PNPI
Akibat dari konflik itu sangat luas karena menyangkut pembangunan dengan daya dukung di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur), kepastian berusaha, kepastian hukum dan kepastian hidup layak bagi warga. Belum lagi risiko Teluk Jakarta menjadi toilet terbesar di dunia.

Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro menuturkan penilaiannya terkait keputusan pemerintah melalui Menko Maritim yang memberikan izin untuk melanjutkan kembali kegiatan reklamasi Teluk Jakarta.
“Menko Maritim cukup memonitor dan mengoordinasi menteri-menteri yang terkait Reklamasi Teluk Jakarta,” ujar Bernie, sapaan akrab Bernardus.
Dia melanjutkan, Menteri ATR/Kepala BPN seharusnya sejak awal pro-aktif melibatkan diri karena urusan reklamasi sangat terkait tata ruang.
“Pada periode lalu, menteri lama tidak mengambil bola ini. Sekarang, seharusnya Sofyan Djalil mengedepankan pemecahan masalah ruang secara komprehensif,” imbuh Bernie.
Hal ini sesuai dengan mandat Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007, bahwa Menteri ATR/Kepala BPN adalah pemangku utama urusan Tata Ruang.
Selain itu juga ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2011 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang nasional (BKPRN).
Kedua regulasi ini mengatur kewenangan tata ruang dan penyelesaian konflik ruang (conflict reaolutions), baik ruang darat, laut dan udara.
Sayangnya, kata Bernie, tumpang tindih antara peraturan yang menata perencanaan baik kawasan darat, pesisir dan laut, kadung terjadi.
Belum lagi, isu bahwa Kementerian ATR/BPN akan membubarkan BKPRN. Sebaiknya ini ditinjau secara serius.
Bahwa BKPRN selama ini tumpul dan hanya memberikan sebatas rekomendasi pada kasus-kasus reklamasi yang lalu, perlu segera merekonstruksi dan memperbaiki perannya.
Menurut Bernie, BKPRN harus berani memutuskan urusan tata ruang, termasuk peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta dan Perpres Jabodetabekjur demi pencapaian target-target proyek prioritas pemerintah.
IAP, kata Bernie, mengapresiasi keputusan pemerintah memberikan izin dilanjutkannya kembali kegiatan reklamasi. Karena reklamasi sudah tertera dalam RTRW, rencana detail tata ruang (RDTR), dan Peraturan Zonasi DKI.
“Secara perencanaan, dengan menjadi peraturan daerah (perda), maka rencana reklamasi adalah dokumen sah negara. Namun, pelaksanaan reklamasi harus merupakan pilihan akhir usaha revitalisasi dan regenerasi kota,” tandas Bernie.

Pada kesempatan lain Dadan Januar,S.H,M.H Direktur Lembaga Bantuan Hukum Tata Ruang (LBHTR) mengatakan Kementerian ATR/Kepala BPN yang di Nahkodai Oleh Sofyan Djalil haruslah menjadi Leader dalam Permasalahan Penataan Ruang yang sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi Kementerian tersebut dikarenakan selama ini Kementerian ATR/Kepala BPN tidak terlihat kemana keberadaannya yang terlihat hanyalah Kemen LHK dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang hadir dalam konflik Reklamasi tersebut dan masyarakat mengharapkan gerak cepat dari kementerian ATR sebelum komflik meluas dan makin memanas sehingga dapat menghadirkan Negara dalam Penataan Ruang . (mtr)

http://mediatataruang.com/memanasnya-teluk-jakarta/

ed3.19.jpg (392×188)
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: